Jumat, 20 Juli 2012

Patriarki, Peradaban, dan Asal Usul Gender


Oleh: John Zerzan

Pada dasarnya, peradaban, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan. Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam. Apakah kedua institusi ini merupakan sinonim?

Filsafat telah meninggalkan alam penderitaan yang luas ketika jalannya yang panjang, dalam pembagi-bagian divisi kerja, perlahan-lahan mulai terbuka. Hélène Cixous menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai ayah-ayah.” Perempuan, seperti halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka: penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.

Seperti Camille Paglia, seorang pemikir anti-feminis, ketika ia merenungi peradaban dan perempuan:

“Ketika Aku melihat seekor burung bangau besar melewati sebuah truk panjang, sejenak Aku terdiam dan tertunduk, seperti yang akan dilakukan orang-orang ketika sedang berada dalam ibadah gereja. Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam apa: yang dihubungkan oleh bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno, ketika arsitektur monumental pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila peradaban diserahkan ke tangan perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk  jerami.” (1)

“Kejayaan” peradaban dan bagaimana hal tersebut tidak menarik bagi perempuan. Bagi sebagian dari kita “gubuk-gubuk jerami” mewakili acuan untuk tidak mengambil jalan yang salah, yaitu penindasan dan pengrusakan. Di dalam kemajuan peradaban teknologi global yang mengarah pada kehancuran dan kematian, andai saja kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami!

Perempuan dan alam secara universal telah dihilangkan nilainya oleh paradigma dominan dan siapa yang tak melihat pertanda-tanda dari ini? Ursula Le Guin memberikan kita koreksi yang tepat dari ketidakpercayaan Paglia akan keduanya (perempuan dan alam):

“Manusia beradab berkata: Aku adalah diri, Aku adalah tuan, segala sesuatu diluar dari Aku adalah yang lain—berada di luar, di bawah, tak terlihat, bawahan. Aku memiliki, Aku menggunakan, Aku mengeksplorasi, Aku mengeksploitasi, Aku mengontrol. Apa yang kulakukan adalah yang penting.  Apa yang Aku inginkan adalah alasan mengapa semua ini ada. Aku adalah Aku, dan selain dari itu adalah keperempuanan dan keliaran yang, harus digunakan sesuai kemauanku.” (2)

Banyak orang percaya bahwa peradaban mula-mula itu matriarkal. Namun tak seorangpun ahli antropologi atau arkeologi, termasuk feminis, menemukan bukti dari asumsi tersebut. “Pencarian akan sebuah budaya egalitarian asli yang, taruhlah matriarkal, tak pernah membuahkan hasil,” terang Sherry Ortner. (3)

Meskipun demikian, memang ada masanya, sebelum budaya lelaki menjadi sesuatu yang universal, ketika perempuan secara garis besar tidak selalu berada di bawah pria. Sejak 1970an antropolog semacam Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan Frances Dahlberg (4) membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah di mana ”Lelaki adalah sang pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya di sini adalah data bahwa secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan 20 persen dari berburu. Sangat  mungkin untuk mencurigai pemisahan antara berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu dan pria yang meramu (5). Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan pria.

Dalam konteks etos-etos egalitarian kelompok pemburu (hunter gatherer) atau peramu makanan (foraging society), ahli-ahli antropologi seperti Eleanor Leacock, Patricia Draper dan Mina Caufield telah menjelaskan, secara garis besar, terdapat bukti adanya hubungan setara antara perempuan dan pria (6). Di dalam tatanan masyarakat semacam itu ketika seseorang memperoleh sesuatu Ia pula yang akan membagikannya dan ketika perempuan memperoleh 80 persen makanan, maka mereka jugalah yang menentukan aturan bagi gerak kelompok serta lokasi-lokasi untuk menetap. Serupa dengan adanya bukti bahwa perempuan dan pria yang membuat alat-alat dari batu yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat pra-agrikultur. (7)

Dalam komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja. Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya, seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan. (8) Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan.” (9) Zubaeeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika: “Hubungan-hubungan gender suku Mbuti dikarakteristikan oleh harmoni dan kerjasama.” (10)

Seseorang akan berpikir, benarkah situasinya semenyenangkan itu? Melihat terjadinya penghapusan makna keperempuanan yang beragam bentuknya namun tidak secara esensi, pertanyaan bahwa kapan dan bagaimana, cukup jelas berkata sebaliknya. Terdapat sebuah pemisahan mendasar eksistensi sosial menurut gender, serta hirarki dari pemisahan tersebut. Bagi filosof Jane Flax, dualisme yang paling mapan, termasuk pemisahan subyek-obyek serta tubuh-pikiran, merupakan suatu refleksi dari perpecahan gender. (11)

Gender tidaklah serupa dengan pemisahan kealamian/fisiologi s menurut jenis kelamin. Ia adalah suatu kategorisasi kultural dan tingkatan yang bersandar pada sebuah pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin yang, bisa jadi merupakan bentuk tunggal kultural yang terpenting. Apabila gender membawa dan melegitimasi ketidaksetaraan serta dominasi, apa yang penting untuk dipertanyakan? Jadi dalam pengertian asal-usulnya— serta dalam pengertian masa depan kita—pertanyaan mengenai masyarakat manusia tanpa gender yang menjadi pertanyaannya.

Kita semua mengerti bahwa pembagian divisi kerja memperlebar jalan terciptanya domestikasi dan peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global sekarang ini. Juga terlihat bahwa bentukan-bentukan pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin merupakan bentuknya yang paling awal dan juga, sebagai efeknya, membentuk formasi gender.

Saling berbagi makanan telah lama diketahui sebagai suatu capaian terbaik dari cara hidup meramu bahan makanan (foraging society). Sama halnya dengan membagi-bagi kewajiban untuk merawat keturunan yang masih dapat dilihat dari sisa-sisa masyarakat semacam itu, dan pola semacam ini cukuplah berbeda dengan kehidupan keluarga dalam peradaban (“yang beradab”) yang terisolasi dan terprivatisasi. Keluarga tidak dipandang sebagai suatu institusi yang abadi, begitupula dengan peran ibu yang sekarang ini dimaknai sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dari evolusi manusia.

Masyarakat terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja dan keluarga melalui pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin. Kebutuhan untuk integrasi memperlihatkan sebuah tegangan, sebuah keterpisahan yang mengundang suatu dasaran kohesi atau solidaritas. Dalam pengertian ini, anggapan Testart cukup tepat: ”hal yang inheren di dalam hubungan kekerabatan adalah hirarki.” (13) Dengan berdasar pada pembagian divisi kerja, hubungan di dalam keluarga menjadi hubungan produksi. ”Gender adalah sesuatu yang inheren di dalam sifat alami hubungan keluarga,” seperti yang dijelaskan oleh Cucchiari, ”yang tak dapat eksis tanpanya.” Di dalam wilayah inilah akar dari dominasi terhadap alam dan perempuan dapat dieskplorasi.

Seperti yang telah diketahui, suku-suku peramu makanan di dalam masyarakat semacam itu membuka jalan bagi peran-peran yang terspesialisasi, struktur hubungan kekerabatan membentuk infrastruktur hubungan yang akan berkembang menuju ketidaksetaraan dan pembeda-bedaan kekuatan. Lumrahnya perempuan menjadi pasif akibat suatu peran khusus menjaga anak; pola semacam ini selanjutnya semakin berkembang melampui kriteria-kriteria yang tadinya terbentuk sebagai peran gender. Pemisahan dan pembagian divisi kerja menurut gender ini mulai hadir selama transisi dari era Pertengahan sampai era Paleolitikum Lanjut. (15)

Gender dan sistem hubungan kekerabatan merupakan konstruksi kultural yang di bentuk berdasarkan dan bertentangan dengan subyek-subyek biologis yang, menurut Juliet Mitchell, melibatkan “lebih dari apapun sebuah organisasi simbolik dari perilaku.” (16) Seperti yang telah eksis di dalam masyarakat berbasis gender, mungkin akan lebih menjelaskan apabila melihat langsung pada budaya simbolik itu sendiri, dengan melihat “kebutuhan untuk memediasi secara simbolis suatu pendikotomian kosmos yang hebat.” (17) Pertanyaan siapa-yang-lebih- dulu-muncul, datang dengan sendirinya dan sulit untuk diketahui. Kendati demikian, cukup jelas bahwa tak ada pembuktian aktivitas-aktivitas simbolik (seperti misalnya yang terdapat di dalam lukisan-lukisan goa) sebelum sistem gender, yang didasari pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, terlihat berlangsung di era tersebut. (18)

Memasuki era Paleolitikum Lanjut, yang merupakan awalan dari Revolusi era Neolitikum di mana terbentuknya peradaban dan domestikasi, revolusi gender telah mencapai masanya. Tanda-tanda maskulin dan feminim mulai hadir sekitar 35,000 tahun lalu di dalam seni-seni goa. Kesadaran gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan dualitas, suatu spektral dari masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu polarisasi aktivitas baru ini, aktivitas menjadi berorientasi dan terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu, misalnya, berkembang menjadi sesuatu yang kelaki-lakian, kriteria-kriteriany a terkhususkan pada gender pria sebagai suatu sifat yang diinginkan.

Ketika telah menjadi sangat menyatu atau menyeluruh, aktivitas semacam kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung jawab komunal untuk merawat anak, sekarang ini menjadi bidang-bidang yang terpisah di mana kecemburuan seksual dan kepemilikan (posesif) mulai hadir. Di saat yang bersamaan, hal-hal simbolis muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas yang terpisah. Bukti-bukti ini bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan ritual. Sangatlah beresiko untuk mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan titik berangkat masa sekarang, meskipun budaya-budaya non-industrial yang masih tersisa dapat menunjukan titik terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini, misalnya, mengalami pemisahan maskulin dan feminim sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi” maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang liar, impulsif, sensual, dan acuh pada ritual. Sama halnya dengan Mansi di daerah barat-daya Siberia yang memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan perempuan di dalam praktik-praktik ritual.(20) 
Dengan bukti suku-suku seperti ini, bukanlah hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa peran ritual merupakan sesuatu yang menentukan bagi subordinasi perempuan. (21) Gayle Rubin menyimpulkan bahwa ”kekalahan universal perempuan secara historis hadir melalui asal-usul budaya dan merupakan prasyarat dari terjadinya budaya.” (22)

Kebangkitan bersamaan budaya simbolis dan kehidupan gender bukanlah suatu kejadian yang kebetulan. Kedua-duanya melibatkan suatu perubahan mendasar dari kehidupan yang tadinya tidak terpilah-pilah dan non-hirarkis. Logika perkembangan dan perluasan kedua hal tersebut merupakan sebuah respon dari tegangan-tegangan dan ketidaksetaraan yang mereka ciptakan; keduanya saling-terhubung secara dialektis dengan awal-mula pemisahan divisi kerja yang artifisial.

Secara cukup relatif, Lompatan Besar Menuju era agrikultur dan peradaban mulai hadir ketika terjadinya alterasi gender atau budaya simbolik. Ini merupakan era yang menentukan bagi istilah ”berdiri diatas alam”, dengan mulai mengenyampingkan keharmonisan dan kecerdasan non dominatif dengan alam. Perubahan ini cukup menentukan bagi konsolidasi dan intensifikasi pembagian divisi kerja. Meillasoux mengingatkan kita tentang permulaannya:

Alam sama sekali tidak menjelaskan mengenai pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, tidak pula dengan institusi semacam pernikahan, keterikatan suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya dipaksakan kepada perempuan, maka dari itu semua ini haruslah dijelaskan melalui peradaban, bukan malah menggunakannya untuk menjelaskan secara sebaliknya. (23)

Kelkar dan Nathan, misalnya, tidak banyak menemukan bukti adanya spesialisasi gender pada suku-suku kelompok pemburu di India bagian barat, apabila dibandingkan dengan kondisi masyarakat agrikultur disana. (24) Transisi dari cara-cara mengumpulkan makanan menuju pada produksi makanan mengarah pada perubahan-perubahan radikal di dalam masyarakat di mana saja. Cukuplah menjelaskan, apabila mencermati contoh yang mendekati jaman sekarang, bahwa suku Muskogee di Amerika Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai intrinsik dari hutan yang belum terjamah, dan terdomestikasi; dijajah oleh kaum kolonial dan menggantikan tradisi Muskogee yang matrilineal dengan hubungan patrilineal. (25)

Tempat terjadinya transformasi dari gaya hidup alami (liar) menuju yang berbudaya adalah ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, sebagaimana perempuan mulai terbatasi horison-horisonnya. Domestikasi berangkat dari sini (juga secara etimologi, yang latinnya domus, atau rumah tangga): kerja-kerja membosankan- -yang tidak sesulit seperti meramu bahan makanan–, reproduksi berlebihan, dan pengharapan hidup yang lebih rendah daripada kaum pria. Indikasi-indikasi ini hadir di dalam masyarakat agrikultur sebagai peran perempuan. (26) Dari sini dikotomi yang lain lagi muncul, pembedaan antara kerja dan non-kerja, sesuatu yang bagi banyak generasi tidak pernah eksis. Melalui produksi gender ini beserta perluasannya yang konstan, mulai berkembanglah fondasi-fondasi budaya dan mentalitas kita.

Setelah dibatas-batasi seperti ini, perempuan, meski belum sepenuhnya dipasifkan, mulai didefinisikan sebagai pasif. Seperti halnya alam, sebagai nilai yang dijadikan sumber untuk diproduksi; yang menunggu penyuburan dan pengaktivan dari luar tubuhnya. Perempuan mengalami pelepasan otonomi dan kesetaraan yang relatif di dalam suku-suku kecil yang bersifat nomadik dan anarkik menjadi kediaman-kediaman yang besar, kompleks, dan dikontrol.

Mitologi dan agama, sebagai kompensasi-kompensa si dari masyarakat yang terpilah-pilah, bersaksi atas direduksinya posisi perempuan. Dalam cerita Yunani versi Homer, tanah kosong (yang belum didomestikasi oleh budaya bercocok-tanam) , kediaman Calypso asal Circa, Sirens yang menggoda Odysseus untuk meninggalkan kerja-kerja peradaban, dikategorikan sebagai feminin. Baik tanah dan perempuan, sekali lagi, menjadi subyek dominasi. Namun imperialisme semacam ini mengkhianati asal muasal rasa bersalah, sebagaimana hukuman bagi mereka yang berkaitan dengan domestikasi dan teknologi, di dalam dongeng-dongeng Promotheus dan Sisifus. Proyek-proyek agrikultur di banyak tempat, menjadi semacam pelanggaran; seperti halnya pemerkosaan di dalam cerita-cerita Demeter. Seiring lewatnya waktu dan kekalahan-kekalahan , hubungan-hubungan ibu dan anak perempuan di dalam mitos Yunani—seperti cerita-cerita Demeter-Kore, Clytemnestra- Iphigenia, Jocastra-Antigone, misalnya—mulai hilang.

Di dalam kitab Kejadian, bagian awal dari Alkitab, perempuan lahir dari rusuk pria. Pengusiran dari taman Eden mewakili kematian kehidupan berburu dan berkumpul, pemaksaan menuju agrikultur dan kerja-kerja keras. Tentunya, semua itu disalahkan pada Hawa, yang menjadi stigma dari pengusiran ini. (27) Cukup ironis memang, di dalam cerita tersebut domestikasi terasa seperti rasa takut dan penolakan terhadap sifat alami perempuan, sementara mitos Eden, dalam kenyataannya, justru menyalahkan korban utama dari skenarionya.

Agrikultur adalah penaklukan yang mengisi lahirnya formasi dan berkembangnya gender. Terlepas dari adanya figur-figur dewi-dewi, yang dijadikan sebagai lambang kesuburan, secara garis besar budaya Neolitikum sangatlah menjunjung tinggi kejantanan. Melalui dimensi-dimensi emosional maskulinisme, sebagaimana yang dilihat Cauvin, domestikasi hewan-hewan mestilah datang dari inisiatif kaum pria. (28) Semenjak itu pemisahan dan tekanan pada kekuasaan mulai hadir bersama kita; ekspansi daerah-daerah, misalnya, di mana energi pria menundukan sifat alami perempuan mulai diperluas.

Hal ini telah mencapai proporsinya yang dashyat, dan dari segala sisi kita diberitahu bahwa kita tidak dapat menghindari hubungan dengan teknologi yang sudah sangat menyeluruh. Namun patriarki, juga, ada di mana-mana, dan sekali lagi inferioritas alam dipertahankan. Untungnya, ”banyak kaum feminis”, menurut Carol Stabile, percaya bahwa “penolakan terhadap teknologi sangatlah identik dengan penolakan terhadap patriarki.” (29)

Ada kaum feminis lain yang mengklaim bahwa bagian dari sumber-sumber teknologi, mengakui adanya suatu “pelepasan dari tubuh” secara virtual, cyborg (organisme sibernetik) dan sejarah penaklukan gendernya. Namun titik berangkat semacam ini salah kaprah, suatu pelupaan akan keseluruhan angkutan dan logika menindas dari institusi yang menciptakan patriarki. Masa depan high-tech yang mengoyak tubuh ini hanya merupakan unsur dan jalan yang sama destruktifnya.

Menurut Freud, menganalisa orang menurut subyek gendernya merupakan sesuatu yang mendasar, baik secara kultural dan psikologis. Namun teori-teorinya mengasumsikan masa yang telah mengekspresikan subyektivitas gender, dan karenanya memicu banyak pertanyaan. Berbagai macam pertimbangan tetap tak terpetakan, seperti halnya gender sebagai suatu ekspresi relasi kekuasaan, dan fakta bahwa manusia datang di dunia sebagai mahkluk biseksual.

Carla Freeman memiliki pertanyaan yang berkaitan di dalam esainya yang berjudul, ‘Is Local: Global as Feminine: Masculine? Rethinking the Gender of Globalization” .(30)

Krisis umum modernitas berakar pada imposisi gender. Pemisahan dan ketidaksetaraan dimulai pada periode lahirnya budaya simbolik, yang pada tingkatan lanjutnya menjadi sesuatu yang menentukan seperti halnya dengan domestikasi dan peradaban: patriarki. Hirarki gender tidak dapat direformasikan seperti halnya sistem kelas atau globalisasi. Tanpa konsep pembebasan perempuan yang benar-benar radikal, kita akan terjebak di dalam pengecohan dan pengerudungan yang sekarang ini telah menjadi hasil yang menakutkan di manapun. Keseluruhan otentik ketiadaan gender mungkin bisa menjadi prasyarat bagi penyelamatan kita.



Catatan:

1. Camille Paglia, Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily Dickinson (Yale University Press: New Haven, 1990), p. 38.

2. Ursula Le Guin, “Women/Wildness, ” Judith Plant, ed., Healing the Wounds (New Society: Philadelphia, 1989), Hal. 45.

3. Sherry B. Ortner, Making Gender: the Politics and Erotics of Culture (Beacon Press: Boston, 1996), Hal. 24. Lihat juga Cynthia Eller, The Myth of Matriarchal Prehistory: Why an Invented Past Won’t Give Women a Future (Beacon Press: Boston, 2000).

4. Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner, “Gathering and Hominid Adaptation,” dalam Lionel Tiger and Heather Fowler, eds., Female Hierarchies (Beresford: Chicago, 1978); Adrienne L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4 (1978); Frances Dahlberg, Woman the Gatherer (Yale University Press: New Haven, 1981); Elizabeth Fisher, Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979).

5. James Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry (Routledge: New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara Voorhies, Female of the Species (Columbia University Press: New York, 1975), hal 210-211.

6. Leacock merupakan salah satu yang paling ngotot di antara semuanya, dengan mengatakan bahwa apapun bentuk dari dominasi pria yang ada dalam masyarakat tersebut yang bertahan, disebabkan oleh efek dominasi kolonial. LIhat Eleanor Burke Leacock, “Women’s Status in Egalitarian Society,” Current Anthropology 19 (1978); dan Myths of Male Dominance (Monthly Review Press: New York, 1981). Lihat juga “Powerful Women and the Myth of Male Dominance in Aztec Society,”  karya S. dan G. Cafferty Archaeology from Cambridge 7 (1988).

7. Joan Gero dan Margaret W. Conkey, eds., Engendering Archaeology (Blackwell: Cambridge MA, 1991); C.F.M. Bird, “Woman the Toolmaker,” Dalam Women in Archaeology (Research School of Pacific and Asian Studies: Canberra, 1993).

8. Claude Meillasoux, Maidens, Meal and Money (Cambridge University Press: Cambridge, 1981), p. 16.

9. Rosalind Miles, The Women’s History of the World (Michael Joseph: London, 1986), p. 16.

10. Zubeeda Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka, 2000), p. 196.

11. Jane Flax, “Political Philosophy and the Patriarchal Unconscious, ” dalam Sandra Harding adan Merrill B. Hintikka, eds., Discovering Reality (Reidel: Dortrecht, 1983), pp 269-270.

12. LIhat Patricia Elliott, From Mastery to Analysis: Theories of Gender in Psychoanalytic Feminism (Cornell University Press: Ithaca, 1991), e.g. p. 105.

13. Alain Testart, “Aboriginal Social Inequality and Reciprocity, ” Oceania 60 (1989), p. 5.

14. Salvatore Cucchiari, “The Gender Revolution and the Transition from Bisexual Horde to Patrilocal Band,” dalam , Sexual Meanings: The Cultural Construction of Gender and Sexuality (Cambridge University Press: Cambridge UK, 1984), karya Sherry B. Ortner dan Harriet Whitehead hal. 36. Essay ini sangatlah penting.

15. Olga Soffer, “Social Transformations at the Middle to Upper Paleolithic Transition,” dalam Replacement: Controversies in Homo Sapiens Evolution (A.A. Balkema: Rotterdam 1992) karya Günter Brauer dan Fred H. Smith, hal. 254.

16. Juliet Mitchell, Women: The Longest Revolution (Virago Press: London, 1984), hal. 83.

17. Cucchiari, op.cit., hal. 62.

18. Robert Briffault, The Mothers: the Matriarchal Theory of Social Origins (Macmillan: New York, 1931), hal. 159.

19. Theodore Lidz and Ruth Williams Lidz, Oedipus in the Stone Age (International Universities Press: Madison CT, 1988), hal. 123.

20. Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P. Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books: New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396.

21. Steven Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89. “Contoh-contoh hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and Shennan, op.cit., hal. 369.

22. Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women (Monthly Review Press: New York, 1979), hal. 176.

23. Meillasoux, op.cit., hal 20-21.

24. Disebut oleh Indra Munshi, “Women and Forest: A Study of the Warlis of Western India,” dalam Gender Relations in Forest Societies in Asia: Patriarchy at Odds (Sage: New Delhi, 2003), karya Govind Kelkar, Dev Nathan dan Pierre Walter, hal. 268.


25. Joel W. Martin, Sacred Revolt: The Muskogees’ Struggle for a New World (Beacon Press: Boston, 1991), hal 99, 143.

26. The production of maize, one of North America’s contributions to domestication, “had a tremendous effect on women’s work and women’s health.” Women’s status “was definitely subordinate to that of males in most of the horticultural societies of [what is now] the eastern United States” by the time of first European contact. The reference is from Karen Olsen Bruhns and Karen E. Stothert, Women in Ancient America (University of Oklahoma Press: Norman, 1999), p. 88. Also, for example, Gilda A. Morelli, “Growing Up Female in a Farmer Community and a Forager Community,” in Mary Ellen Mabeck, Alison Galloway and Adrienne Zihlman, eds., The Evolving Female (Princeton University Press: Princeton, 1997): “Young Efe [Zaire] forager children are growing up in a community where the relationship between men and women is far more egalitarian than is the relationship between farmer men and women” (p. 219). See also Catherine Panter- Brick and Tessa M. Pollard, “Work and Hormonal Variation in Subsistence and Industrial Contexts,” in C. Panter-Brick and C.M. Worthman, eds., Hormones, Health, and Behavior (Cambridge University Press: Cambridge, 1999), in terms of how much more work is done, compared to men, by women who farm vs. those who forage.

27. The Etoro people of Papua New Guinea have a very similar myth in which Nowali, known for her hunting prowess, bears responsibility for the Etoros’ fall from a state of well-being. Raymond C. Kelly, Constructing Inequality (University of Michigan Press: Ann Arbor, 1993), p. 524.

28. Jacques Cauvin, The Birth of the Gods and the Origins of Nature (Cambridge University Press: Cambridge, 2000), p. 133.

29. Carol A. Stabile, Feminism and the Technological Fix (Manchester University Press: Manchester, 1994), p. 5.

30. Carla Freeman, “Is Local:Global as Feminine:Masculine? Rethinking the Gender of Globalization, ” Signs 26 (2001).