Oleh:
John Zerzan
Pada
dasarnya, peradaban, merupakan sejarah dominasi terhadap alam dan perempuan.
Patriarki berarti penguasaan terhadap perempuan dan alam. Apakah kedua
institusi ini merupakan sinonim?
Filsafat
telah meninggalkan alam penderitaan yang luas ketika jalannya yang panjang,
dalam pembagi-bagian divisi kerja, perlahan-lahan mulai terbuka. Hélène Cixous
menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai ayah-ayah.” Perempuan, seperti
halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka:
penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.
Seperti
Camille Paglia, seorang pemikir anti-feminis, ketika ia merenungi peradaban dan
perempuan:
“Ketika
Aku melihat seekor burung bangau besar melewati sebuah truk panjang, sejenak
Aku terdiam dan tertunduk, seperti yang akan dilakukan orang-orang ketika
sedang berada dalam ibadah gereja. Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam
apa: yang dihubungkan oleh bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno,
ketika arsitektur monumental pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila
peradaban diserahkan ke tangan perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam
gubuk-gubuk jerami.” (1)
“Kejayaan” peradaban dan bagaimana hal tersebut tidak menarik bagi perempuan. Bagi sebagian dari kita “gubuk-gubuk jerami” mewakili acuan untuk tidak mengambil jalan yang salah, yaitu penindasan dan pengrusakan. Di dalam kemajuan peradaban teknologi global yang mengarah pada kehancuran dan kematian, andai saja kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk jerami!
Perempuan
dan alam secara universal telah dihilangkan nilainya oleh paradigma dominan dan
siapa yang tak melihat pertanda-tanda dari ini? Ursula Le Guin memberikan kita
koreksi yang tepat dari ketidakpercayaan Paglia akan keduanya (perempuan dan
alam):
“Manusia
beradab berkata: Aku adalah diri, Aku adalah tuan, segala sesuatu diluar dari
Aku adalah yang lain—berada di luar, di bawah, tak terlihat, bawahan. Aku
memiliki, Aku menggunakan, Aku mengeksplorasi, Aku mengeksploitasi, Aku
mengontrol. Apa yang kulakukan adalah yang penting. Apa yang Aku inginkan
adalah alasan mengapa semua ini ada. Aku adalah Aku, dan selain dari itu adalah
keperempuanan dan keliaran yang, harus digunakan sesuai kemauanku.” (2)
Banyak
orang percaya bahwa peradaban mula-mula itu matriarkal. Namun tak seorangpun
ahli antropologi atau arkeologi, termasuk feminis, menemukan bukti dari asumsi
tersebut. “Pencarian akan sebuah budaya egalitarian asli yang, taruhlah
matriarkal, tak pernah membuahkan hasil,” terang Sherry Ortner. (3)
Meskipun
demikian, memang ada masanya, sebelum budaya lelaki menjadi sesuatu yang
universal, ketika perempuan secara garis besar tidak selalu berada di bawah
pria. Sejak 1970an antropolog semacam Adrienne Zihlman, Nancy tanner dan
Frances Dahlberg (4) membenarkan stereotip mula-mula era prasejarah di mana ”Lelaki
adalah sang pemburu” dan ”Perempuan adalah sang peramu.” Kuncinya di sini
adalah data bahwa secara garis besar, komunitas-komunitas pra-agrikultur
memperoleh 80 persen kebutuhan makan dari mengumpul (mengumpulkan makanan) dan
20 persen dari berburu. Sangat mungkin untuk mencurigai pemisahan antara
berkumpul/berburu dan mengabaikan bahwa komunitas-komunitas tersebut, dalam
tingkatan-tingkatan signifikan, dapat membuktikan bahwa perempuan yang berburu
dan pria yang meramu (5). Namun otonomi perempuan di dalam masyarakat semacam
ini mengacu pada fakta, melalui penilaian pola aktivitas mereka, bahwa
sumberdaya untuk hidup bagi perempuan cukup setara dengan pria.
Dalam
konteks etos-etos egalitarian kelompok pemburu (hunter gatherer) atau peramu
makanan (foraging society), ahli-ahli antropologi seperti Eleanor Leacock,
Patricia Draper dan Mina Caufield telah menjelaskan, secara garis besar,
terdapat bukti adanya hubungan setara antara perempuan dan pria (6). Di dalam
tatanan masyarakat semacam itu ketika seseorang memperoleh sesuatu Ia pula yang
akan membagikannya dan ketika perempuan memperoleh 80 persen makanan, maka
mereka jugalah yang menentukan aturan bagi gerak kelompok serta lokasi-lokasi
untuk menetap. Serupa dengan adanya bukti bahwa perempuan dan pria yang membuat
alat-alat dari batu yang digunakan oleh masyarakat-masyarakat pra-agrikultur.
(7)
Dalam
komunitas-komunitas matriarkal Pueblo, Iroquois, Crow dan kelompok-kelompok
Indian Amerika lainnya, perempuan dapat memutuskan tali perkawinan kapan saja.
Secara garis besar, pria dan perempuan di dalam masyarakat semacam ini lebih
leluasa bergerak dengan bebas dan damai dari satu kelompok ke kelompok lainnya,
seperti halnya juga ketika mereka berada di dalam atau di luar suatu hubungan.
(8) Menurut Rosalind Miles, pria tidak hanya tidak memerintah ataupun
mengeksploitasi perempuan, “mereka memiliki sedikit atau sama sekali tidak
memiliki kendali atas tubuh perempuan maupun anak-anak mereka, sehingga tidak
ada yang namanya penyakralan akan suatu keperawanan atau kesucian, dan (kaum
lelaki) tidak menuntut apapun dari eksklusivitas aktivitas seksual perempuan.”
(9) Zubaeeda Banu Quraishy memberikan satu contoh dari Afrika:
“Hubungan-hubungan gender suku Mbuti dikarakteristikan oleh harmoni dan
kerjasama.” (10)
Seseorang
akan berpikir, benarkah situasinya semenyenangkan itu? Melihat terjadinya
penghapusan makna keperempuanan yang beragam bentuknya namun tidak secara
esensi, pertanyaan bahwa kapan dan bagaimana, cukup jelas berkata sebaliknya.
Terdapat sebuah pemisahan mendasar eksistensi sosial menurut gender, serta
hirarki dari pemisahan tersebut. Bagi filosof Jane Flax, dualisme yang paling
mapan, termasuk pemisahan subyek-obyek serta tubuh-pikiran, merupakan suatu
refleksi dari perpecahan gender. (11)
Gender
tidaklah serupa dengan pemisahan kealamian/fisiologi s menurut jenis kelamin.
Ia adalah suatu kategorisasi kultural dan tingkatan yang bersandar pada sebuah
pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin yang, bisa jadi merupakan bentuk
tunggal kultural yang terpenting. Apabila gender membawa dan melegitimasi
ketidaksetaraan serta dominasi, apa yang penting untuk dipertanyakan? Jadi
dalam pengertian asal-usulnya— serta dalam pengertian masa depan
kita—pertanyaan mengenai masyarakat manusia tanpa gender yang menjadi
pertanyaannya.
Kita
semua mengerti bahwa pembagian divisi kerja memperlebar jalan terciptanya
domestikasi dan peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global
sekarang ini. Juga terlihat bahwa bentukan-bentukan pembagian divisi kerja
menurut jenis kelamin merupakan bentuknya yang paling awal dan juga, sebagai
efeknya, membentuk formasi gender.
Saling
berbagi makanan telah lama diketahui sebagai suatu capaian terbaik dari cara
hidup meramu bahan makanan (foraging society). Sama halnya dengan membagi-bagi
kewajiban untuk merawat keturunan yang masih dapat dilihat dari sisa-sisa
masyarakat semacam itu, dan pola semacam ini cukuplah berbeda dengan kehidupan
keluarga dalam peradaban (“yang beradab”) yang terisolasi dan terprivatisasi.
Keluarga tidak dipandang sebagai suatu institusi yang abadi, begitupula dengan
peran ibu yang sekarang ini dimaknai sebagai suatu hal yang tak terhindarkan
dari evolusi manusia.
Masyarakat
terintegrasikan melalui pembagian divisi kerja dan keluarga melalui pembagian
divisi kerja menurut jenis kelamin. Kebutuhan untuk integrasi memperlihatkan
sebuah tegangan, sebuah keterpisahan yang mengundang suatu dasaran kohesi atau
solidaritas. Dalam pengertian ini, anggapan Testart cukup tepat: ”hal yang
inheren di dalam hubungan kekerabatan adalah hirarki.” (13) Dengan berdasar
pada pembagian divisi kerja, hubungan di dalam keluarga menjadi hubungan
produksi. ”Gender adalah sesuatu yang inheren di dalam sifat alami hubungan
keluarga,” seperti yang dijelaskan oleh Cucchiari, ”yang tak dapat eksis
tanpanya.” Di dalam wilayah inilah akar dari dominasi terhadap alam dan
perempuan dapat dieskplorasi.
Seperti
yang telah diketahui, suku-suku peramu makanan di dalam masyarakat semacam itu
membuka jalan bagi peran-peran yang terspesialisasi, struktur hubungan
kekerabatan membentuk infrastruktur hubungan yang akan berkembang menuju
ketidaksetaraan dan pembeda-bedaan kekuatan. Lumrahnya perempuan menjadi pasif
akibat suatu peran khusus menjaga anak; pola semacam ini selanjutnya semakin
berkembang melampui kriteria-kriteria yang tadinya terbentuk sebagai peran
gender. Pemisahan dan pembagian divisi kerja menurut gender ini mulai hadir
selama transisi dari era Pertengahan sampai era Paleolitikum Lanjut. (15)
Gender
dan sistem hubungan kekerabatan merupakan konstruksi kultural yang di bentuk
berdasarkan dan bertentangan dengan subyek-subyek biologis yang, menurut Juliet
Mitchell, melibatkan “lebih dari apapun sebuah organisasi simbolik dari
perilaku.” (16) Seperti yang telah eksis di dalam masyarakat berbasis gender,
mungkin akan lebih menjelaskan apabila melihat langsung pada budaya simbolik
itu sendiri, dengan melihat “kebutuhan untuk memediasi secara simbolis suatu
pendikotomian kosmos yang hebat.” (17) Pertanyaan siapa-yang-lebih-
dulu-muncul, datang dengan sendirinya dan sulit untuk diketahui. Kendati
demikian, cukup jelas bahwa tak ada pembuktian aktivitas-aktivitas simbolik
(seperti misalnya yang terdapat di dalam lukisan-lukisan goa) sebelum sistem
gender, yang didasari pembagian divisi kerja menurut jenis kelamin, terlihat
berlangsung di era tersebut. (18)
Memasuki
era Paleolitikum Lanjut, yang merupakan awalan dari Revolusi era Neolitikum di
mana terbentuknya peradaban dan domestikasi, revolusi gender telah mencapai
masanya. Tanda-tanda maskulin dan feminim mulai hadir sekitar 35,000 tahun lalu
di dalam seni-seni goa. Kesadaran gender bangkit sebagai pencapaian keseluruhan
dualitas, suatu spektral dari masyarakat yang terpilah-pilah. Di dalam suatu
polarisasi aktivitas baru ini, aktivitas menjadi berorientasi dan
terdefinisikan oleh gender. Peran pemburu, misalnya, berkembang menjadi sesuatu
yang kelaki-lakian, kriteria-kriteriany a terkhususkan pada gender pria sebagai
suatu sifat yang diinginkan.
Ketika
telah menjadi sangat menyatu atau menyeluruh, aktivitas semacam
kelompok-kelompok peramu makanan dan tanggung jawab komunal untuk merawat anak,
sekarang ini menjadi bidang-bidang yang terpisah di mana kecemburuan seksual
dan kepemilikan (posesif) mulai hadir. Di saat yang bersamaan, hal-hal simbolis
muncul sebagai suatu bidang ataupun realitas yang terpisah. Bukti-bukti ini
bisa dilihat dalam praktik-praktik seni dan ritual. Sangatlah beresiko untuk
mengandaikan masa lalu yang jauh menggunakan titik berangkat masa sekarang,
meskipun budaya-budaya non-industrial yang masih tersisa dapat menunjukan titik
terang. Suku Bimin-Kushumin Papua Nugini, misalnya, mengalami pemisahan
maskulin dan feminim sebagai sesuatu yang mendasar dan menegaskan. ”Esensi”
maskulin, yang diistilahkan sebagai finiik, tidak hanya melambangkan
kualitas-kualitas kekuatan ala ksatria perang, tapi juga berhubungan dengan
ritual dan kontrol. ”Esensi” feminim, atau khaapkhabuurien, adalah sesuatu yang
liar, impulsif, sensual, dan acuh pada ritual. Sama halnya dengan Mansi di daerah
barat-daya Siberia yang memberlakukan aturan-aturan keras pada keterlibatan
perempuan di dalam praktik-praktik ritual.(20)
Dengan bukti suku-suku seperti
ini, bukanlah hal yang berlebihan untuk mengatakan bahwa peran ritual merupakan
sesuatu yang menentukan bagi subordinasi perempuan. (21) Gayle Rubin
menyimpulkan bahwa ”kekalahan universal perempuan secara historis hadir melalui
asal-usul budaya dan merupakan prasyarat dari terjadinya budaya.” (22)
Kebangkitan
bersamaan budaya simbolis dan kehidupan gender bukanlah suatu kejadian yang
kebetulan. Kedua-duanya melibatkan suatu perubahan mendasar dari kehidupan yang
tadinya tidak terpilah-pilah dan non-hirarkis. Logika perkembangan dan
perluasan kedua hal tersebut merupakan sebuah respon dari tegangan-tegangan dan
ketidaksetaraan yang mereka ciptakan; keduanya saling-terhubung secara
dialektis dengan awal-mula pemisahan divisi kerja yang artifisial.
Secara
cukup relatif, Lompatan Besar Menuju era agrikultur dan peradaban mulai hadir
ketika terjadinya alterasi gender atau budaya simbolik. Ini merupakan era yang
menentukan bagi istilah ”berdiri diatas alam”, dengan mulai mengenyampingkan
keharmonisan dan kecerdasan non dominatif dengan alam. Perubahan ini cukup
menentukan bagi konsolidasi dan intensifikasi pembagian divisi kerja.
Meillasoux mengingatkan kita tentang permulaannya:
Alam
sama sekali tidak menjelaskan mengenai pembagian divisi kerja menurut jenis
kelamin, tidak pula dengan institusi semacam pernikahan, keterikatan
suami-istri, maupun paternalitas. Semuanya dipaksakan kepada perempuan, maka
dari itu semua ini haruslah dijelaskan melalui peradaban, bukan malah
menggunakannya untuk menjelaskan secara sebaliknya. (23)
Kelkar
dan Nathan, misalnya, tidak banyak menemukan bukti adanya spesialisasi gender
pada suku-suku kelompok pemburu di India bagian barat, apabila dibandingkan
dengan kondisi masyarakat agrikultur disana. (24) Transisi dari cara-cara
mengumpulkan makanan menuju pada produksi makanan mengarah pada
perubahan-perubahan radikal di dalam masyarakat di mana saja. Cukuplah
menjelaskan, apabila mencermati contoh yang mendekati jaman sekarang, bahwa
suku Muskogee di Amerika Tenggara yang menjunjung tinggi nilai-nilai intrinsik
dari hutan yang belum terjamah, dan terdomestikasi; dijajah oleh kaum kolonial
dan menggantikan tradisi Muskogee yang matrilineal dengan hubungan patrilineal.
(25)
Tempat
terjadinya transformasi dari gaya hidup alami (liar) menuju yang berbudaya
adalah ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, sebagaimana perempuan
mulai terbatasi horison-horisonnya. Domestikasi berangkat dari sini (juga
secara etimologi, yang latinnya domus, atau rumah tangga): kerja-kerja
membosankan- -yang tidak sesulit seperti meramu bahan makanan–, reproduksi
berlebihan, dan pengharapan hidup yang lebih rendah daripada kaum pria.
Indikasi-indikasi ini hadir di dalam masyarakat agrikultur sebagai peran
perempuan. (26) Dari sini dikotomi yang lain lagi muncul, pembedaan antara
kerja dan non-kerja, sesuatu yang bagi banyak generasi tidak pernah eksis. Melalui
produksi gender ini beserta perluasannya yang konstan, mulai berkembanglah
fondasi-fondasi budaya dan mentalitas kita.
Setelah
dibatas-batasi seperti ini, perempuan, meski belum sepenuhnya dipasifkan, mulai
didefinisikan sebagai pasif. Seperti halnya alam, sebagai nilai yang dijadikan
sumber untuk diproduksi; yang menunggu penyuburan dan pengaktivan dari luar
tubuhnya. Perempuan mengalami pelepasan otonomi dan kesetaraan yang relatif di
dalam suku-suku kecil yang bersifat nomadik dan anarkik menjadi kediaman-kediaman
yang besar, kompleks, dan dikontrol.
Mitologi
dan agama, sebagai kompensasi-kompensa si dari masyarakat yang terpilah-pilah,
bersaksi atas direduksinya posisi perempuan. Dalam cerita Yunani versi Homer,
tanah kosong (yang belum didomestikasi oleh budaya bercocok-tanam) , kediaman
Calypso asal Circa, Sirens yang menggoda Odysseus untuk meninggalkan
kerja-kerja peradaban, dikategorikan sebagai feminin. Baik tanah dan perempuan,
sekali lagi, menjadi subyek dominasi. Namun imperialisme semacam ini
mengkhianati asal muasal rasa bersalah, sebagaimana hukuman bagi mereka yang
berkaitan dengan domestikasi dan teknologi, di dalam dongeng-dongeng Promotheus
dan Sisifus. Proyek-proyek agrikultur di banyak tempat, menjadi semacam
pelanggaran; seperti halnya pemerkosaan di dalam cerita-cerita Demeter. Seiring
lewatnya waktu dan kekalahan-kekalahan , hubungan-hubungan ibu dan anak
perempuan di dalam mitos Yunani—seperti cerita-cerita Demeter-Kore,
Clytemnestra- Iphigenia, Jocastra-Antigone, misalnya—mulai hilang.
Di
dalam kitab Kejadian, bagian awal dari Alkitab, perempuan lahir dari rusuk
pria. Pengusiran dari taman Eden mewakili kematian kehidupan berburu dan
berkumpul, pemaksaan menuju agrikultur dan kerja-kerja keras. Tentunya, semua
itu disalahkan pada Hawa, yang menjadi stigma dari pengusiran ini. (27) Cukup
ironis memang, di dalam cerita tersebut domestikasi terasa seperti rasa takut
dan penolakan terhadap sifat alami perempuan, sementara mitos Eden, dalam kenyataannya,
justru menyalahkan korban utama dari skenarionya.
Agrikultur
adalah penaklukan yang mengisi lahirnya formasi dan berkembangnya gender.
Terlepas dari adanya figur-figur dewi-dewi, yang dijadikan sebagai lambang
kesuburan, secara garis besar budaya Neolitikum sangatlah menjunjung tinggi
kejantanan. Melalui dimensi-dimensi emosional maskulinisme, sebagaimana yang
dilihat Cauvin, domestikasi hewan-hewan mestilah datang dari inisiatif kaum
pria. (28) Semenjak itu pemisahan dan tekanan pada kekuasaan mulai hadir
bersama kita; ekspansi daerah-daerah, misalnya, di mana energi pria menundukan
sifat alami perempuan mulai diperluas.
Hal
ini telah mencapai proporsinya yang dashyat, dan dari segala sisi kita
diberitahu bahwa kita tidak dapat menghindari hubungan dengan teknologi yang
sudah sangat menyeluruh. Namun patriarki, juga, ada di mana-mana, dan sekali
lagi inferioritas alam dipertahankan. Untungnya, ”banyak kaum feminis”, menurut
Carol Stabile, percaya bahwa “penolakan terhadap teknologi sangatlah identik
dengan penolakan terhadap patriarki.” (29)
Ada
kaum feminis lain yang mengklaim bahwa bagian dari sumber-sumber teknologi,
mengakui adanya suatu “pelepasan dari tubuh” secara virtual, cyborg (organisme
sibernetik) dan sejarah penaklukan gendernya. Namun titik berangkat semacam ini
salah kaprah, suatu pelupaan akan keseluruhan angkutan dan logika menindas dari
institusi yang menciptakan patriarki. Masa depan high-tech yang mengoyak tubuh
ini hanya merupakan unsur dan jalan yang sama destruktifnya.
Menurut
Freud, menganalisa orang menurut subyek gendernya merupakan sesuatu yang
mendasar, baik secara kultural dan psikologis. Namun teori-teorinya
mengasumsikan masa yang telah mengekspresikan subyektivitas gender, dan
karenanya memicu banyak pertanyaan. Berbagai macam pertimbangan tetap tak
terpetakan, seperti halnya gender sebagai suatu ekspresi relasi kekuasaan, dan
fakta bahwa manusia datang di dunia sebagai mahkluk biseksual.
Carla
Freeman memiliki pertanyaan yang berkaitan di dalam esainya yang berjudul, ‘Is
Local: Global as Feminine: Masculine? Rethinking the Gender of Globalization”
.(30)
Krisis
umum modernitas berakar pada imposisi gender. Pemisahan dan ketidaksetaraan
dimulai pada periode lahirnya budaya simbolik, yang pada tingkatan lanjutnya
menjadi sesuatu yang menentukan seperti halnya dengan domestikasi dan
peradaban: patriarki. Hirarki gender tidak dapat direformasikan seperti halnya
sistem kelas atau globalisasi. Tanpa konsep pembebasan perempuan yang
benar-benar radikal, kita akan terjebak di dalam pengecohan dan pengerudungan
yang sekarang ini telah menjadi hasil yang menakutkan di manapun. Keseluruhan
otentik ketiadaan gender mungkin bisa menjadi prasyarat bagi penyelamatan kita.
Catatan:
1.
Camille Paglia, Sexual Personae: Art and Decadence from Nefertiti to Emily
Dickinson (Yale University Press: New Haven, 1990), p. 38.
2.
Ursula Le Guin, “Women/Wildness, ” Judith Plant, ed., Healing the Wounds (New
Society: Philadelphia, 1989), Hal. 45.
3.
Sherry B. Ortner, Making Gender: the Politics and Erotics of Culture (Beacon
Press: Boston, 1996), Hal. 24. Lihat juga Cynthia Eller, The Myth of
Matriarchal Prehistory: Why an Invented Past Won’t Give Women a Future (Beacon
Press: Boston, 2000).
4.
Sebagai contoh, Adrienne L. Zihlman dan Nancy Tanner, “Gathering and Hominid
Adaptation,” dalam Lionel Tiger and Heather Fowler, eds., Female Hierarchies
(Beresford: Chicago, 1978); Adrienne L. Zihlman, “Women in Evolution,” Signs 4
(1978); Frances Dahlberg, Woman the Gatherer (Yale University Press: New Haven,
1981); Elizabeth Fisher, Woman’s Creation: Sexual Evolution and the Shaping of
Society (Anchor/ Doubleday: Garden City NY, 1979).
5.
James Steele dan Stephan Shennan, eds., The Archaeology of Human Ancestry
(Routledge: New York, 1995), hal. 349. Also, M. Kay Martin and Barbara
Voorhies, Female of the Species (Columbia University Press: New York, 1975),
hal 210-211.
6.
Leacock merupakan salah satu yang paling ngotot di antara semuanya, dengan
mengatakan bahwa apapun bentuk dari dominasi pria yang ada dalam masyarakat
tersebut yang bertahan, disebabkan oleh efek dominasi kolonial. LIhat Eleanor
Burke Leacock, “Women’s Status in Egalitarian Society,” Current Anthropology 19
(1978); dan Myths of Male Dominance (Monthly Review Press: New York, 1981).
Lihat juga “Powerful Women and the Myth of Male Dominance in Aztec
Society,” karya S. dan G. Cafferty Archaeology from Cambridge 7 (1988).
7.
Joan Gero dan Margaret W. Conkey, eds., Engendering Archaeology (Blackwell:
Cambridge MA, 1991); C.F.M. Bird, “Woman the Toolmaker,” Dalam Women in
Archaeology (Research School of Pacific and Asian Studies: Canberra, 1993).
8.
Claude Meillasoux, Maidens, Meal and Money (Cambridge University Press:
Cambridge, 1981), p. 16.
9.
Rosalind Miles, The Women’s History of the World (Michael Joseph: London,
1986), p. 16.
10.
Zubeeda Banu Quraishy, “Gender Politics in the Socio-Economic Organization of
Contemporary Foragers,” dalam Ian Keen dan Takako Yamada, eds., Identity and
Gender in Hunting and Gathering Societies (National Museum of Ethnology: Osaka,
2000), p. 196.
11.
Jane Flax, “Political Philosophy and the Patriarchal Unconscious, ” dalam
Sandra Harding adan Merrill B. Hintikka, eds., Discovering Reality (Reidel:
Dortrecht, 1983), pp 269-270.
12.
LIhat Patricia Elliott, From Mastery to Analysis: Theories of Gender in
Psychoanalytic Feminism (Cornell University Press: Ithaca, 1991), e.g. p. 105.
13.
Alain Testart, “Aboriginal Social Inequality and Reciprocity, ” Oceania 60
(1989), p. 5.
14.
Salvatore Cucchiari, “The Gender Revolution and the Transition from Bisexual
Horde to Patrilocal Band,” dalam , Sexual Meanings: The Cultural Construction
of Gender and Sexuality (Cambridge University Press: Cambridge UK, 1984), karya
Sherry B. Ortner dan Harriet Whitehead hal. 36. Essay ini sangatlah penting.
15.
Olga Soffer, “Social Transformations at the Middle to Upper Paleolithic
Transition,” dalam Replacement: Controversies in Homo Sapiens Evolution (A.A.
Balkema: Rotterdam 1992) karya Günter Brauer dan Fred H. Smith, hal. 254.
16.
Juliet Mitchell, Women: The Longest Revolution (Virago Press: London, 1984),
hal. 83.
17.
Cucchiari, op.cit., hal. 62.
18.
Robert Briffault, The Mothers: the Matriarchal Theory of Social Origins
(Macmillan: New York, 1931), hal. 159.
19.
Theodore Lidz and Ruth Williams Lidz, Oedipus in the Stone Age (International
Universities Press: Madison CT, 1988), hal. 123.
20.
Elena G. Fedorova, “The Role of Women in Mansi Society,” in Peter P.
Schweitzer, Dalam Hunters and Gatherers in the Modern World (Berghahn Books:
New York, 2000), karya Megan Biesele dan Robert K. Hitchhock, hal. 396.
21.
Steven Harrall, Human Families (Westview Press: Boulder CO, 1997), hal. 89.
“Contoh-contoh hubungan antar ritual dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat
forager tersebar luas,” menurut Stephan Shennan di “Social Inequality and the
Transmission of Cultural Traditions in Forager Societies,” karya Steele and
Shennan, op.cit., hal. 369.
22.
Gayle Rubin, “The Traffic in Women,” Toward an Anthropology of Women (Monthly
Review Press: New York, 1979), hal. 176.
23.
Meillasoux, op.cit., hal 20-21.
24.
Disebut oleh Indra Munshi, “Women and Forest: A Study of the Warlis of Western
India,” dalam Gender Relations in Forest Societies in Asia: Patriarchy at Odds
(Sage: New Delhi, 2003), karya Govind Kelkar, Dev Nathan dan Pierre Walter,
hal. 268.
25.
Joel W. Martin, Sacred Revolt: The Muskogees’ Struggle for a New World (Beacon
Press: Boston, 1991), hal 99, 143.
26.
The production of maize, one of North America’s contributions to domestication,
“had a tremendous effect on women’s work and women’s health.” Women’s status
“was definitely subordinate to that of males in most of the horticultural
societies of [what is now] the eastern United States” by the time of first
European contact. The reference is from Karen Olsen Bruhns and Karen E.
Stothert, Women in Ancient America (University of Oklahoma Press: Norman,
1999), p. 88. Also, for example, Gilda A. Morelli, “Growing Up Female in a
Farmer Community and a Forager Community,” in Mary Ellen Mabeck, Alison
Galloway and Adrienne Zihlman, eds., The Evolving Female (Princeton University
Press: Princeton, 1997): “Young Efe [Zaire] forager children are growing up in
a community where the relationship between men and women is far more
egalitarian than is the relationship between farmer men and women” (p. 219).
See also Catherine Panter- Brick and Tessa M. Pollard, “Work and Hormonal
Variation in Subsistence and Industrial Contexts,” in C. Panter-Brick and C.M.
Worthman, eds., Hormones, Health, and Behavior (Cambridge University Press:
Cambridge, 1999), in terms of how much more work is done, compared to men, by
women who farm vs. those who forage.
27.
The Etoro people of Papua New Guinea have a very similar myth in which Nowali,
known for her hunting prowess, bears responsibility for the Etoros’ fall from a
state of well-being. Raymond C. Kelly, Constructing Inequality (University of
Michigan Press: Ann Arbor, 1993), p. 524.
28.
Jacques Cauvin, The Birth of the Gods and the Origins of Nature (Cambridge
University Press: Cambridge, 2000), p. 133.
29.
Carol A. Stabile, Feminism and the Technological Fix (Manchester University
Press: Manchester, 1994), p. 5.
30.
Carla Freeman, “Is Local:Global as Feminine:Masculine? Rethinking the Gender of
Globalization, ” Signs 26 (2001).